Tag
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kesehatan mental berasal dari dua kata yaitu, “kesehatan” dan “mental”. Kesehatan berasal dari kata sehat yang menuju pada keaadaan fisik, individu yang sehat ialah individu yang berada dalam keadaan fisik yang baik dan bebas dari penyakit. Sedangkan mental ialah kepribadiaan yang merupakan dinamik yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan perbuatan. Selain itu mental juga mencakup unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasan yang dalam keseluruhannya akan menentukan tingkah laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau yang menggembirakan serta menyenangkan. Kesehatan mental menggambarka tingkat kesejahteraan psikologi atau adanya gangguan mental.kesehatan mental dapat diartikan sebagai suatu ekspresi emosi dan sebagai penanda adaptasi sukses untuk berbagai tuntutan.
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kesehatan mental adalah suatu keadaan kesejahteraan dimana individu menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dari kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan baik dan mampu memberikan kontribusi bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Dalam sebuah penelitian/materi diperlukan ruang lingkup biasanya disebut variabel. Ruang lingkup juga digunakan untuk membatasi materi yang dikaji. Dalam kesehatan mental juga diperlukan ruang lingkup untuk membatasi materi yang akan di bahas, agar tidak melewati materi dari kesehatan mental tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan ruang lingkup kesehatan mental dalam keluarga dan sekolah ?
2.Bagaimana peran kesehatan mental dalam keluarga dan sekolah ?
3.Masalah apa yang biasanya terjadi di keluarga dan sekolah dalam kesehatan mental ?
1.3 Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan mental dan mengerti ruang lingkup kesehatan mental dalam keluarga dan sekolah, bagaimana peran di dalam kesehatan mental itu sendiri dan memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ruang lingkup kesehatan mental dalam keluarga dan sekolah
A. Mental Hygiene dalam keluarga
Kesehtan mental dalam keluarga ini berkaitan dengan suami istri dalam mengelola keluarga mereka untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah untuk memahami konsep-konsep atau prinsip-prinsip kesehatan mental hygiene ini, dalam keluarga kesehatan mental berfungsi untuk mengembangkan mental yang sehat dan mencegah terjadinya mental yang sakit pada anggota keluarganya. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang, dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Al-Quran, S.Attahrim : 6). Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi yahudi, nashrani, atau majusi” (H.R. Bukhori & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988). Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihyau Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966 : 189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat tergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya.
Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah Swt. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya, sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, 1994 : 49). Keluarga mempunyai peranan penting, karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi. Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak. Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-bilogis, maupun sosiopsikologisnya.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu diperoleh, apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.
Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang shaleh, agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang diantaranya adalah sebagai berikut.
1.Bangunlah keluarga itu dengan melalui pernikahan yang syah berdasarkan syariat atau ketentuan agama.
2.Pernikahan itu hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah, karena menikah adalah sunnah Rasulullaah SAW (Annikaahu sunnatii famanlamyargobu ‘an sunnatii palaisa minnii = nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci nikah berarti dia bukan ummatku ). Dengan demikian suami dan istri, atau orang tua dan anak adalah mitra dalam beribadah kepada Allah.
3.Pada saat berhubungan suami-istri (jima’ atau bersenggama), berdo’alah kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan syetan. Do’a yang diajarkan Rasulullaah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithona, wajannibisysyaithona minmaa rozaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari syetan, dan jauhkanlah syetan dari rizqi/anak yang engkau berikan kepada kami).
4.Perbanyaklah doa’ Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota ‘ayun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa). Do’a lain yang sebaiknya didawamkan dalam rangka memohon anak yang shaleh adalah Rabbii wablii minashshaalihiin (Ya Tuhanku anugrahkanlah kepadaku anak-anak yang shaleh).
5. Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalanl ibadah : (a) membaca Al-Quran (selama sembilan bulan mengandung, bacalah Al-Quran dari mulai surat Alfatihah s.d. surat Annaas, jangan hanya membaca surat-surat tertentu saja); (b) melaksanakan shalat tahajjud, dan memperbanyak do’a setelahnya; (c) memperbanyak shadaqah atau infaq; dan (d) memperbanyak dzikir kepada Allah, atau membaca kalimatuttoyyibah, seperti : tasbih (subhaanallaah), tahmid (alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), dan tahlil (laa ilaaha illallaah). Yang melakukan ‘amalan ini bukan hanya istri, tetapi juga suami.
6.Menciptakan pola pergaulan yang ma’ruf (baik atau harmonis) antara suami – sitri, atau orang tua – anak.
7.Pada saat anak lahir, ucapkanlah kalimah toyyibah (minimal membaca tahmid); ada juga yang menyarankan untuk mengumandangkan (dengan suara yang lembut) adzan pada telinga kanan anak dan qomat pada telinga kirinya.
8.Pada saat anak sudah berusia tujuh hari, lakukan aqiqah bagi anak, yaitu menyembelih kambing/domba jantan (bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor), mencukur rambut anak (rambut ini ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga emas, kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau yatim piatu); dan memberi nama yang baik kepada anak. Pada acara ini undanglah keluarga, kerabat, atau tetangga dekat untuk bersama-sama mensyukuri ni’mat dari Allah.
9.Pada saat anak sudah masuk usia taman kanak-kanak, didiklah mereka (melalui pengajaran, ketauladanan, dan pembiasaan) tentang berbagai aspek kehidupan yang penting bagi perkembangan kepribadiannya yang mantap, seperti :
(a) mengajar rukun iman dan rukun islam, mengajar dan membiasakan ibadah shalat, memberikan contoh dalam membayar zakat atau infaq, mengajar membaca Al-Quran, dan do’a-do’a; (b) melatih dan memberi contoh tentang cara merawat kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan : mandi, gosok gigi, makan dan minum yang teratur, membuang sampah pada tempatnya, memelihara kebersihan dan kerapihan rumah; (c) memberi contoh tentang bertutur kata yang sopan (sesuai dengan bahasa ibunya); dan (d) mengajar dan memberi contoh tentang tata krama (etika) bergaul dengan orang lain.
10.Bersikap tabah atau bersabar pada saat menghadapi masalah atau persoalan, karena dalam mengarungi kehidupan berkeluarga tidak steril atau tidak lepas dari masalah tersebut. Masalah-masalah yang mungkin dihadapi itu diantaranya sebagai berikut.
a. Adanya perbedaan kebiasaan, keinginan, dan sikap-sikap antara suami dan istri. Apabila suami dan istri kurang memiliki sikap saling memahami dan menerima, maka hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu pertengkaran atau perselisihan, sehingga iklim kehidupan keluarga dirasakan tidak harmonis.
b. Penghasilan suami yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga.
c. Minimnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi anak.
d. Penyakit salah seorang anggota keluarga yang tidak sembuh-sembuh dan memerlukan perawatan yang cukup mahal.
e. Anak berperilaku nakal.
f. Terjadinya perceraian yang dapat menyebabkan dampak yang kurang baik terhadap kehidupan keluarga, terutama terhadap nasib masa depan anak.
g. Suami atau istri berselingkuh.
h. Adanya sikap saling mendominasi antara suami dan istri.
i. Salah seorang anggota keluarga mengalami gangguan/sakit jiwa.
Pada uraian berikut akan dibahas tentang pengaruh keluarga terhadap perkembangan kepribadian atau kesehatan mental anak (remaja), yaitu menyangkut keberfungsian, dan perlakuan keluarga.
B. Mental Hygiene di sekolah
Kesehatn mental di sekolah ini didasari oleh pendapat bahwa “ perkembangan kesehatan mental peserta didik dipengaruhi oleh iklim sosio-emosional disekolah “. Pemahaman pimpinan sekolah dan guru-guru , terutama guru BK atau konseling tentang mental hygiene sangat diperlukan. Dalam hal ini pimpinan dan guru dapat menciptakan iklim kehidupan sekolah (fisik, emosional, sosial, maupun moral spiritual) untuk perkembangan kesehatan mental para siswa. Di samping itu mereka dapat memantau gejala gangguan mental para siswa sedini mungkin. Selain itu mereka juga dapat memahami masalah mental yang dapat diatasi sendiri dan mana yang harus dirujuk ke pada ahli yang lebih profesional. Para guru di sekolah pada jenjang apapun perlu memeahami kesehatan mental siswanya yang berada pada masa transisi, karena tidak sedikit siswanya yang mengalami kesulitan mengembangkan mentalnya karena terhambat oleh masalah-masalahnya, seperti penyesuaian diri, konflik dengan orang tua atau teman, masalah pribadi, masalah akademis yang semuanya dapat menjadi sumber stres.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru substitusi orang tua. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu :
(a) para siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini,seiring dengan masa perkembangan “konsep diri”nya, (c) anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses, dan (e) sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik.
Sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini, sekolah seyogyanya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa (yang berusia remaja) untuk mencapai tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja itu menyangkut aspek-aspek kematangan dalam berinteraksi sosial, kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
1. Pencapaian Tugas Perkembangan melalui Kelompok Teman Sebaya
Teman sebaya mempunyai peranan penting bagi remaja. Remaja sering menempatkan teman sebaya dalam posisi prioritas, apabila dibandingkan dengan orang tua, atau guru dalam menyatakan kesetiaannya. Dalam masyarakat yang perubahannya serba cepat, sering muncul perselisihan atau kesalahpahaman antara kelompok sebaya remaja dengan orang tua, guru, dan orang-orang yang mempunyai otoritas lainnya. Meskipun begitu, apabila situasi ini dapat ditangani secara bijaksana oleh orang dewasa, maka pengalaman remaja dalam kelompok sebaya itu sangat bermanfaat untuk mencapai sikap independensi, dan kematangan hubungan interpersonal secara matang. Dengan kata lain, dalam kelompok sebaya ini, remaja dapat menuntaskan tugas-tugas perkembangan mencapai hubungan baru yang matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita, dan mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.
Upaya sekolah (Pimpinan, dan Guru-guru) dalam rangka membantu siswa mencapai kedua tugas-tugas perkembangan di atas, adalah (1) memberikan pengajaran atau bimbingan tentang keterampilan-keterampilan sosial (social skills); (2) memberikan kesempatan kepada para siswa untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok (kegiatan ekstrakurikuler, atau OSIS); (3) mengajar atau membimbing siswa tentang hidup demokratis, atau hidup berteman secara sehat; (4) bersama siswa mendiskusikan tentang masalah peranan sosial pria atau wanita dalam masyarakat; (5) mendorong siswa untuk mau membaca literatur yang memuat peranan pria atau wanita; (6) menugaskan siswa untuk mengamati kehidupan sosial (menyangkut keterlibatan pria atau wanita dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kehidupan berkeluarga, atau kehidupan masyarakat lainnya), sebagai bahan pembahasan dalam diskusi dengan guru.
2. Mencapai Perkembangan Kemandirian Pribadi (Personal Independence)
Remaja merupakan periode perkembangan ke arah otonomi (kemandirian), atau independensi pribadi. Untuk mencapai aspek perkembangan ini, remaja harus dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan : (1) menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif, (2) mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya, (3) mencapai jaminan kemandirian ekonomi, (4) memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, (5) mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga, dan (6) mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang perlu bagi kompetensi sebagai warga negara.
Dalam rangka membantu remaja mencapai tugas-tugas perkembangan di atas, maka sekolah dapat memfasilitasinya dengan upaya-upaya sebagai berikut.
a. Melalui pelajaran biologi, kesehatan dan olah raga, atau layanan bimbingan, guru mata pelajaran atau guru pembimbing dapat memberikan penjelasan tentang pertumbuhan atau perubahan fisik remaja, terutama aspek keragamannya.
b. Membantu siswa dalam mengembangkan sikap apresiatifnya terhadap fostur tubuhnya, atau kondisi dirinya (kekuatan dan kelemahannya).
c. Menyediakan fasilitas bagi kegiatan siswa dalam bidang olah raga, kesenian, atau keterampilan-keterampilan lainnya.
d. Menciptakan suasana sekolah yang kondusif bagi perkembangan emosional siswa secara matang (memelihara hubungan antar personel, terutama antara guru-siswa, yang bersifat hangat, penuh pengertian dan penerimaan).
e. Memberikan informasi kepada para siswa tentang cara menghadapi frustrasi atau stresss secara sehat.
f. Memberikan kesempatan kepada siswa (pada saat proses belajar mengajar berlangsung) untuk mengajukan pertanyaan, atau pendapatnya.
g. Memberikan bimbingan kepada para siswa tentang cara-cara memecahkan masalah (problem solving), atau mengambil keputusan.
h. Membantu siswa mengembangkan rasa percaya dirinya.
i. Mengembangkan sikap apresiatif siswa terhadap sekolah, bahwa sekolah disamping tempat menuntut ilmu juga sebagai investasi masa depannya.
j. Mengembangkan sikap dan kemampuan siswa untuk berwiraswasta.
k. Melalui proses belajar mengajar, atau bimbingan khusus guru mengembangkan sikap, semangat, atau kebiasaan positif siswa untuk belajar.
3. Pengembangan Filsafat Hidup
Pengembangan filsafat hidup ini merupakan pencapaian kematangan remaja dalam aspek nilai atau kontrol etika, sebagai pertanda bahwa dia sebagai pribadi atau warga masyarakat yang baik. Pencapaian perkembangan ini merupakan suatu proses yang dimulai sejak masa anak, yaitu periode pembentukan konsep-konsep, kata hati moral, dan tanggung jawab moral dalam pergaulan dengan orang lain. Hubungan remaja dalam kelompok sosialnya yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut, melibatkan dua tugas perkembangan yang harus diselesaikannya, yaitu (1) pencapaian tingkah laku yang bertanggung jawab; dan (2) memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pembimbing tingkah lakunya.
Dalam rangka membantu remaja (siswa) menyelesaikan tugas-tugas perkembangan tersebut, maka sekolah dapat melakukan upaya-upaya berikut.
a. Mengembangkan wawasan, sikap, dan pembiasaan siswa dalam penerapan nilai-nilai atau norma-norma yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat, seperti : kejujuran, kedisiplinan, kebersihan/kesehatan, toleransi, demokrasi, kerjasama, tanggungjawab, dan saudaraan.
Caranya bisa melalui : pengajaran di kelas, pemberian informasi secara khusus, diskusi kelompok atau curah pendapat, dan terutama ketauladanan dari pimpinan sekolah, guru-guru, dan personel sekolah lainnya.
b. Mengembangkan sikap altruis para siswa, dengan cara saling memberikan bantuan di antara teman, menengok teman yang sakit, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah, atau yatim piatu dan pakir miskin.
c. Mendiskusikan, atau curah pendapat (brain storming) tentang berbagai masalah atau isu -isu kenakalan remaja, baik menyangkut jenis (tawuran, minuman keras, AIDS, pergaulan bebas dan ecstacy), faktor penyebab, dampak, dan cara menanggulanginya.
4. Pengembangan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Tugas perkembangan ini berkaitan dengan hakikat manusia sebagai makhluq Tuhan, yang mempunyai tugas suci untuk beribadah kepadaNya. Ibadah ini misinya adalah untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan, atau kenyamanan hidup, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Perkembangan keimanan dan ketaqwaan ini, merupakan tugas perkembangan yang penanamannya dimulai sejak usia dini. Pada usia remaja, nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan harus sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pencapaian tugas perkembangan ini, pada setiap remaja nampaknya bersifat heterogin. Heterogenitas pencapaian ini, dipengaruhi oleh faktor pengalaman keagamaan masing-masing, terutama di lingkungan keluarganya. Dalam rangka membantu remaja (siswa) dalam mengokohkan atau memantapkan keimanan dan ketaqwaannya, maka sekolah seyogyanya melakukan upaya-upaya :
a. Pimpinan (kepala sekolah dan para wakilnya), guru-guru, dan personel sekolah lainnya harus sama-sama mempunyai kepedulian terhadap program pendidikan agama, atau penanaman nilai-nilai agama di sekolah, baik melalui :
(a) proses belajar mengajar di kelas; (b) bimbingan (pemaknaan hikmah hidup beragama/beribadah, pemberian dorongan, dan contoh/tauladan baik dalam bertutur kata, berperilaku, berpakaian, maupun melaksanakan ibadah); dan (c) pembiasaan dalam mengamalkan nilai-nilai agama.
b. Guru agama seyogyanya memiliki kepribadian yang mantap (akhlaqul karimah), pemahaman dan ketrampilan profesional, serta kemampuan dalam mengemas materi pembelajaran, sehingga mata pelajaran agama menjadi menarik dan bermakna bagi anak.
c. Guru-guru berupaya menyisipkan nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya, sehingga siswa memiliki apresiasi yang positif terhadap nilai-nilai agama.
d. Sekolah menyediakan sarana ibadah (mesjid) sebagai laboratorium rohaniah yang cukup memadai, serta memfungsikannya secara maksimal.
Pengembangan kesehatan mental di lingkungan sekolah bukan hanya difokuskan kepada siswa, tetapi juga kepala sekolah, guru-guru, dan personel sekolah lainnya. Hal ini penting, sebab para siswa akan mengalami hambatan dalam mengembangkan mentalnya yang sehat, apabila dididik oleh para pendidik yang mentalnya tidak sehat. Terkait dengan hal di atas, disini dikemukakan karakteristik pribadi guru (dosen di perguruan tinggi) yang sehat mentalnya, diantaranya sebagai berikut.
a. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (mengamalkan ibadah mahdlah –hablumminallah-, dan ibadah ghair mahdlah atau hablumminannas).
b. Bertanggung jawab (amanah) terhadap tugasnya sebagai pendidik, yang ditunjukkan dengan berdisiplin dalam bekerja, dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pembimbing, pengajar, atau pelatih.
c. Bersikap respek terhadap diri sendiri (percaya diri, dan tidak inferior) dan terhadap orang lain, khususnya kepada para siswa (menghargai pribadi, pendapat, atau hasil karya siswa).
d. Bersikap antusias dalam melaksanakan tugas (mendidik siswa)
e. Memahami masalahnya (frustrasi, stress atau konflik) sendiri atau keluarga, dan berusaha untuk mengatasinya, baik oleh diri sendiri maupun meminta bantuan kepada orang lain yang dapat dipercaya secara profesional maupun kepribadiannya (seperti psikolog atau konselor).
f. Memiliki rasa humor, senang melakukan joke, senang bercanda dengan teman, namun tidak keluar dari norma agama maupun adat istiadat (tatakrama).
g. Mampu menjalin hubungan interpersonal secara sehat (tidak arogan, mendominasi orang lain, atau sebaliknya bersikap rendah diri/inferior).
h. Dapat mengendalikan diri (self-control), tidak “ngalajur nafsu ngumbar amarah”.
i. Dapat menikmati kehidupan secara nyaman : tidur nyenyak, makan enak/nikmat, atau dapat memenuhi kebutuhan lainnya secara wajar/normal.
j. Berpenampilan (berpakaian) sederhana, bersih, dan rapih.
k. Memahami dan menerima secara ikhlas profesinya sebagai guru, meskipun dengan penghasilan yang pas-pasan.
l. Mempunyai semangat atau motivasi yang tinggi untuk senantiasa mengembangkan diri (kualitas wawasan dan kinerja profesionalitasnya).
2.2 Peran kesehatan mental dalam keluarga dan sekolah
A. Peran kesehatan mental dalam pembinanan keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal yaitu keluarga. Makanya, tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dari pendidikan keluarga.
Kehidupan keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya.
2. Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain.
3. Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi, mengenal diri sendiri maupun orang lain, pembentukan kepribadian, melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga, dan lain-lain.
4. Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga. Menurut Dadang Hawari, anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan memiliki kepribadian yang matang jika diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sehat dan bahagia. Kepribadian menurut paham kesehatan jiwa adalah segala kebiasaan manusia terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam), sehingga corak dan kebiasaan merupakan satu kesatuan fungsional yang khas untuk individu itu.
B. Peran kesehatan mental dalam pembinaan disekolah
Sekolah adalah lingkungan kedua tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiaanya. Sekolah bukanlah tempat untuk menuangkan ilmu pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga mendidik dan membina kepribadian si anak. Karena itu, sudah menjadi kewajiban sekolah untuk membimbing si anak dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Pendidikan dan pembinaan kepribadian anak-anak yang telah dimulai dari keluarga harus dapat dilanjutkan dan disempurnakan di sekolah. Guru yang dianggap berhasil adalah guru yang tidak hanya membekali muridnya dengan pengetahuan dan pengalaman saja, tetapi juga membekalinya dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial serta dapat mengelola emosinya secara baik.
Sebenarnya tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi anak-anak cukup sulit. Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka menggangu kawan-kawannya, tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan sekolah dan sebagainya. Anak seperti itu janganlah dimarahi dan dihukum tetapi usahakan memahaminya dan menolongnya untuk menyesuaikan diri serta menyelidiki apa yang terjadi di rumahnya.
Apabila si anak telah meningkat usia remaja, guru dan orang tua juga harus membantu si anak untuk menghadapi kesukaran-kesukaran pribadinya. Pada fase peralihan dari anak-anak menjadi remaja, ia agak malas, perhatiannya berubah dan gelisah melihat perubahan-perubahan dirinya secara fisik. Di samping persoalan pertumbuhan fisik yang dialami oleh anak-anak yang meuju remaja itu, banyak pula problem-problem lain yang waktu ia kecil belum terasa. Ada problem yang berhubungan dengan pelajaran, cara belajar dan menghadapi ujian, persoalan-persoalan hari demi haripun tidak mengambil perhatian mereka, yang terpenting adalah persoalan-persoalan seksual. Jika penjelasan dari persoalan-persoalan tentang hal-hal tersebut tidak didapat dari orang tua, maka seharusnya sekolah dapt menolong anak-anak dalam menyelesaikannya.
Pada masa remaja, seorang anak mengalami kegoncangan jiwa. Dalam periode ini, mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan atau menentang oarang tua. Kadang-kadang merasa mulai timbulnya dorongan-dorongan seks yang belum mereka kenal sebelumnya. Di samping itu, mungkin mereka gelisah karena takut akan gagal, akan kurang serasi dalam pertumbuhannya, dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan ini, agama dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh untuk mengembalikan ketenangan jiwanya.
Ada beberapa peranan pendidikan agama dalam kesehatan mental, antara lain:
a. Dengan Agama, dapat Memberikan Bimbingan dalam Hidup
Ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak dapat membentuk kepribadian yang islami. Anak akan mampu mengendalikan keinginan-keinginan dan terbentuk sesuatu kepribadian yang harmonis maka ia mampu menghadapi dorongan yang bersifat fisik dan rohani atau sosial, sehingga ia dapat bersikap wajar tenang dan tidak melanggar hokum dan peraturan masyarakat.
b. Ajaran Agama sebagai Penolong dalam Kesukaran Hidup
Setiap orang pasti pernah merasakan kekecewaan, sehingga bila ia tidak berpengang teguh pada ajaran agama dia akan memiliki perasaan rendah diri, apatis, pesimis, dan merasakan kegelisahan. Bagi orang yang berpengang teguh pada agama bila mengalami kekecewaan ia tidak akan merasa putus asa tetapi ia menghadapinya dengan tenang dan tabah. Ia segera mengigat Tuhan sehingga ia dapat menemukan factor-faktor yang menyebabkan kekecewaan. Dengan demikian, ia terhindar dari gangguan jiwa.
c. Aturan Agama dapat Menentramkan Batin
Agama dapat memberi jalan penenang hati bagi jiwa yang sedang gelisah. Banyak orang yang tidak menjalankan perintah agama, selalu merasa gelisah dalam hidupnya tetapi setelah menjalankan agama ia mendapat ketenangan hati. Seseorang yang telah mendapat kesuksesan terkadang melupakan agama. Ia terhanyut dalam harta yang berlimpah. Bahkan ia berusaha terus mencari harta yang dapat membuat dirinya bahagia. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa hampa. Hatinya gersang dan tidak pernah tentram. Kemudian ia merenungkan diri merasa bahkan hartanya tidak dapat memberinya ketenangan batin.
d. Ajaran Agama sebagai pengendali Moral
Moral adalah kelakuan yang sangat sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan tersebut).
e. Agama dapat Menjadi Therapi Jiwa
Agama dapat membendung dan menghindarkan gangguan jiwa. Sikap, perasaan, dan kelakuan yang menyebabkan kegelisahan akan dapat diatasi bila manusia menyesali perbuatannya dan memohon sehingga tercapailah kerukunan hidup dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
f. Peranan Agama bagi Pembinaan mental
Unsur-unsur yang terpenting dalam menentukan corak kepribadian seseorang adalah nilai-nilai agama moral dan sosial (lingkungan) yang diperolehnya. Jika di masa kecil mereka memproleh pemahaman mengenai nilai-nilai agama, maka kepribadian mereka akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Nilai agama akan tetap dan tidak berubah-ubah, sedangkan nilai-nilai sosial dan moral sering mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan perkembangan masyarakat. Imam akan sifat-sifat Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pelindung sangat diperlukan oleh setiap manusia. Karena setiap orang memerlukan rasa aman dan tidak terancam oleh bahaya, musuh, mala petaka dan berbagai gangguan terhadap keselamatan dirinya
2.3 Masalah Kesehatan Mental yang terjadi didalam keluarga dan sekolah
A. Masalah didalam keluarga
Ketidakhadiran anak di tengah-tengah keluarga juga sering menimbulkan konflik berkepanjangan antara suami-istri. Apalagi jika suami selalu menyalahkan isri sebagai pihak yang mandul. Padahal, butuh pembuktian medis untuk menentukan apakah seseorang memang mandul atau tidak. Solusi Daripada membiarkan masalah tersebut berlarut terus-menerus, lebih baik bicarakan dengan suami. Ajaklah suami untuk bersama memeriksakan ke dokter. Jika dokter mengatakan bahwa Anda dan suami sehat, berarti kesabaran Anda dan pasangan tengah diuji oleh yang Maha Kuasa. Namun, bila memang sudah bertahun-tahun kehadiran si kecil belum datang juga, Anda dan suami bisa menempuh cara lain, misalnya dengan adopsi anak. Memahami masalah kesehatan mental dalam keluarga secara luas adalah penting dalam zaman modern ini walaupun kemajuan ilmu teknologi dan industri dapat memberikan kemudahan dan kesenangan kepada manusia.
Akan tetapi semua itu belum dapat menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan jiwa. Hal ini disebabkan karena kemajuan tersebut membawa kepada perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang sudah barang tentu mempengaruhi perilaku kehidupan jiwa. Sehingga adaptasi masyarakat modern yang hiper kompleks itu menjadi tidak mudah, dan bahkan menyebabkan kecemasan, konflik terbuka dan eksternal sifatnya maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau, berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.
Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang dianggap sosiopatik itu merupakan fungsi struktural dan totalitas sistem sosial. Dengan kata lain penyakit masyarakat merupakan produk sampingan atau konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem sosial kultural zaman sekarang lambat laun apabila tingkah laku menyimpang itu menjadi meluas dalam masyarakat, maka berlangsunglah deviasi situasional yang komulatif misalnya dalam bentuk kebudayaan korupsi, kriminalitas, deviasi seksual dan lain-lain.Tingkah laku atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadis, tetapi selalu ada kelangsungan antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya
Bahwa pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu dapat mencetak pola yang hampir sama pada anggota keluarga lainnya dan sangat besar sekali pengaruhnya dalam proses membentuk tingkah laku terutama anak-anak. Misalnya, temperamen ayah yang agresif meledak-ledak, suka marah, sewenang-wenang, serta kriminil, tidak hanya akan mentransformasikan efek temperamennya saja, akan tetapi juga menimbulkan iklim yang mendemoralisir secara psikis di tengah-tengah keluarga. Sekaligus juga merangsang kemunculan reaksi-rekasi emosional
yang implusif dan eksplosif pada anak-anak yang mengindikasikan ketidaksehatan mental mereka. Keluarga penuh konflik keras, keluarga radikal ekstrim, semua itu biasanya menjadi sumber yang subur bagi munculnya delinkuensi remaja dan ketidaksehatan mental anak-anaknya. Sumbangan keluarga pada perkembangan anak ditentukan oleh sifat hubungan antara anak dengan berbagai anggota keluarga. Tidak semua anggota keluarga mempunyai pengaruh yang sama pada anak. Besarnya pengaruh seorang anggota keluarga bergantung sebagian besar pada hubungan emosional yang terdapat antara anak dan anggota keluarga itu, walaupun pengaruh seorang ayah pada anak bisanya kurang dari pengaruh
ibu, terutama selama awal masa kanak-kanak.
Seorang ayah yang bersifat otokratis dapat menyebabkan penyesuaian yang kurang baik seperti juga seorang ayah yang permisif yang disiplinya tidak efektif. Pada dasarnya hubungan orang tua dan anak bergantung pada sikap orang tua. Sikap orang tua tidak hanya mempunyai pengaruh kuat pada hubungan didalam keluarga tetapi juga pada sikap dan perilaku anak. Kartini Kartono telah menyebutkan bahwa masyarakat modern yang serba ricuh, cepat berubah, dipenuhi kekerasan dan lain-lain itu disamping mendorong orang tua dan anak-anak muda menggunakan respon kriminal, delinkuen juga banyak membuahkan tingkah laku yang neurotis, psikotisi dan psikopstis. Inilah tanda-tanda dari masyarakat yang tengah sakit. Dapat dinyatakan pula bahwa tingkah laku delinkuen dan neurotis, psikopatis anak-anak muda itu merupakan reaksi terhadap kondisi keluarga serba berantakan dan terhadap kondisi sosial masyarakat lingkungan yang tengah sakit.
B. Masalah didalam sekolah
Masalah-masalah sekolah selama tahun-tahun remaja kemungkinan hasil dari pemberontakan dan suatu keinginan untuk bebas. Sangat jarang, disebabkan gangguan kesehatan jiwa, seperti kegelisahan atau depresi. Penggunaan zat-zat, kekerasan dan konflik keluarga juga menjadi penyebab umum masalah-masalah sekolah. Kadangkala, penempatan akademis yang tidak sesuai-terutama sekali pada remaja yang mengalami ketidakmampuan belajar atau keterlambatan mental ringan yang tidak segera diketahui di dalam hidup-menyebabkan masalah-masalah sekolah. Umumnya, remaja dengan masalah-masalah sekolah yang signifikan harus menjalani tes pengetahuan dan evaluasi kesehatan mental. Masalah-masalah yang khusus diobati bila diperlukan, dan dukungan umum dan dorongan dilakukan. kegagalan akademis. Masalah-masalah yang mulai terjadi di lingkungan anak-anak, seperti kurang perhatian/gangguan hiperaktif (ADHD) dan gangguan belajar, bisa berlanjut untuk menyebabkan masalah-masalah sekolah pada remaja. Antara 1 % – 5 % remaja mengalami ketakutan memasuki sekolah. Ketakutan ini kemungkinan sama rata atau berhubungan dengan orang tertentu (seorang guru atau pelajar lain) atau peristiwa di sekolah (seperti kelas pengetahuan fisik). Remaja bisa mengalami gejala-gejala fisik, seperti sakit perut, atau bisa sederhana menolak pergi ke sekolah. Remaja yang sering bolos atau keluar dari sekolah telah menyadari keputusannya untuk menghindari sekolah. Remaja ini biasanya mencapai akademis yang minim dan memiliki sedikit kesuksesan atau kepuasan dari kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Mereka seringkali terlibat dengan tingkah laku yang beresiko tinggi, seperti melakukan seks yang tidak aman, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam keributan. Remaja dengan resiko keluar dari sekolah harus diberi perhatian pada pilihan pendidikan yang lainnya, seperti pelatihan kejuruan dan prgogram alternatif lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kesehatan mental adalah suatu keadaan kesejahteraan dimana individu menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dari kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan baik dan mampu memberikan kontribusi bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Kesehatan dalam keluarga dan sekolah memiliki peran yang sangat penting. Di dalam keluarga kesehatan mental membantu anak menjadi pribadi yang sehat dalam bidang agama, sosial budaya dan pendidikan tentang nilai kehidupan. Sedangkan dalam sekolah kesehatan mental juga diperlukan karena anak bisa membentuk karakternya dari prestasi yang masing-masing mereka miliki.
Dalam keluarga orang tua pun sangat berperan dalam kesehatn mental. Dalam proses itu muncul masalah yang akan menghambat perbaikan dan pembentukan kesehatn mental yaitu salah satunya dalam keluarga, misalnya sifat ayah atau ibu yang kurang baik, maka si anak kadang mengikutinya. Sedangkan dalam sekolah, misalnya seorang murid yang kurang bersemangat bersekolah atau menempuh pendidikan, akibatnya sering membolos, tidak mau mengikuti pelajaran sekolah, dan berperilaku pembrontak.
DAFTAR PUSTAKA
http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/25/kesehatan-mental-di-lingkungan-sekolah-149783.html
Syamsu Yusuf L.N. (2004). Mental Hygiene : Pengembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
http://www.psychologymania.com/2011/03/ruang-lingkup-kesehatan-mental-mental.html